Rabu, 14 September 2011

Ketika agama menganjurkan kita agar selalu optimis, maka itu adalah anjuran untuk memperbanyak sebab-sebabnya. Kalau Anda menabur benih di tanah yang subur, dengan pengairan yang cukup, Anda boleh optimis, tetapi kalau benih yang Anda tanam di tanah yang gersang, atau tidak menanam benih sama sekali, maka sungguh Anda telah teperdaya.

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, optimisme diartikan dengan faham atau keyakinan atas segala sesuatu dari segi yang baik dan menyenangkan. Seseorang yang optimistis adalah yang memiliki harapan baik dalam segala hal. Jika ada gelas yang setengahnya berisi air, maka yang optimis melihat bagian yang terisi dan yang pesimis melihat bagiannya yang kosong. Yang pertama berkata: “Sudah ada setengah gelas” dan yang kedua berkata: “Masih setengahnya yang kosong.”

Pendapat di atas belum sepenuhnya benar, jika dikaitkan dengan pandangan agama tentang optimisme.

Memang, optimisme berkaitan dengan sesuatu yang menyenangkan hati dan dinantikan kedatangannya, berbeda dengan pesimisme. Tetapi, agamawan menegaskan bahwa ia baru dinamai demikian selama sebab-sebab yang dinantikan itu cukup banyak dan logis, kalau tidak, maka ia bukan optimisme, paling tinggi ia adalah harapan tak berdasar, bahkan bisa jadi ia adalah angan-angan kosong dan keterpedayaan amâny atau ghurûr dalam bahasa al-Qur’an.

Optimisme, yang juga biasa dinamai Husnu adz-Dzan atau sangka baik, dianjurkan dalam berbagai segi hidup, lebih-lebih menjelang kematian, tetapi dengan syarat yang disebut di atas.

Imam Ghazâli menulis bahwa dunia adalah ladang akhirat. Hati manusia bagaikan tanah, dan iman ibarat benihnya. Ketaatan-ketaatan mengalir seperti aliran saluran air, membalikkan tanah dan pemupukan untuk menguatkannya. Hati yang tertutup oleh dunia yang menyelimutinya, seperti tanah yang bergaram, tidak akan berhasil menumbuhkan benih. Hari Kiamat adalah hari menuai. Jika seseorang menanam di tanah yang bergaram atau hati yang tertutup, maka benih apapun tidak muncul, dan dengan demikian dia tidak akan menemukan sesuatu yang dituai ketika datangnya musim panen.

Al-Qur’an melukiskan bahwa ada orang-orang yang mewarisi al-Kitab (Taurat), mereka mengambil sesuatu yang rendah dari kehidupan dunia ini dan berkata: “Kami akan diberi ampun.” Dan jika datang kepada mereka harta serupa itu, niscaya mereka akan mengambilnya (juga) (QS. al-A‘râf 7:169). Mereka sungguh teperdaya dan hanya berangan-angan dengan harapan pemaafan itu.

Ketika agama menganjurkan kita agar selalu optimis, maka itu adalah anjuran untuk memperbanyak sebab-sebabnya. Anda dapat mengukur diri Anda! Tanah apa tempat Anda menabur, dan benih apa yang Anda tabur, lalu menetapkan apakah Anda telah wajar bersangka baik atau sikap Anda adalah sikap siapa yang teperdaya. Kalau Anda menabur benih di tanah yang subur, dengan pengairan yang cukup, Anda boleh optimis, tetapi kalau benih yang Anda tanam di tanah yang gersang, atau tidak menanam benih sama sekali, maka sungguh Anda telah teperdaya.

Menghadapi kematian, Rasul saw. bersabda: “Janganlah seseorang di antara kamu wafat kecuali berprasangka baik kepada Allah.” Di kali lain beliau bersabda bahwa Allah berfirman: “Aku memperkenankan sangka baik/optimisme hamba-Ku.”

Optimisme dan sangka baik menjelang kematian, adalah merasa takut akan dosa yang telah diperbuat dan menyesalinya, sambil mengharapkan pengampunan dan rahmat Allah. Rasul saw. bersabda: “Keduanya (yakni takut dan harap) itu tidak berkumpul dalam hati seseorang yang sakarat, kecuali Allah memberinya apa yang dia harapkan dan menyelamatkannya dari apa yang dia takuti. Demikian wa Allâh a‘lam.

Sumber :
Disunting dari buku "Menjemput Maut" karya M. Quraish Shihab, Jakarta: Lentera Hati, 2005.

Tidak ada komentar: