Selasa, 22 Mei 2012

Pengertian Pembunuhan


Pengertian Pembunuhan
Definisi
Dalam bahasa Arab, pembunuhan disebut القتل berasal dari kata قتل
yang sinonimnya
أمات artinya mematikan. sedangkan secara terminologi
Wahba Zuhaili dalam kitab hukum pidana Islam karangan Ahmad Wardi
Muslich, mendefinisikan pembunuhan sebagai perbuatan seseorang
terhadap orang lain yang mengakibatkan hilangnya nyawa, baik perbuatan
tersebut dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja.
Dalam Islam, pembunuhan merupakan salah satu perbuatan yang
dilarang oleh syara’. Bahkan dalam Islam membunuh satu orang dianggap
membunuh semua orang, dan menyelamatkan hidup seorang seolah-olah
menyelamatkan hidup semua umat manusia. Hal ini didasarkan atas
firman Allah dalam surat al Ma’idah ayat 32 Sebagai berikut:
مِنْ َأجْلِ َذلِكَ َ كتَبْنَا عََلى بَنِي إِسْرَائِي َ ل َأنَّهُ مَنْ َقتَ َ ل نَ ْ فسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ َأوْ فَسَادٍ فِي الأرْضِ
َف َ كَأنَّمَا َقتَ َ ل النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ َأحْيَاهَا َف َ كَأنَّمَا َأحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا وََلَقدْ جَاءَتْهُمْ رُسُُلنَا
بِالْبَيِّنَاتِ ُثمَّ إِنَّ َ كثِيرًا مِنْهُمْ بَعْدَ َذلِكَ فِي الأرْضِ َلمُسْرُِفو َ ن.
Artinya: “ bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan
Karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan Karena
membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan dia Telah
membunuh manusia seluruhnya. dan barangsiapa yang memelihara
kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah dia Telah
memelihara kehidupan manusia semuanya. (QS. Al Ma<idah: 32)
Adapun ayat hukum yang memerintahkan agar melindungi
kehidupan manusia didasarkan pada firman Allah SWT dalam Al-Qur’an
surat al-An’am ayat 151 berikut:
وَلا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلا بِالْحَقِّ َذلِكُمْ وَصَّا ُ كمْ بِهِ َلعَلَّكُمْ تَعْقُِلو َ ن.
Artinya: .....dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Alla>h
(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar….
(QS. Al-An’a>m: 151)
Sedangkan kejahatan terhadap nyawa yakni pembunuhan yang
memang disengaja untuk menghilangkan nyawa dijelaskan dalam al-Qur’an
surat al-Isra<’, ayat 33.20
وَلا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلا بِالْحَقِّ وَمَنْ قُتِ َ ل مَ ْ ظُلومًا َفَقدْ جَعَْلنَا لِوَلِيِّهِ سُْل َ طانًا َفلا
يُسْرِفْ فِي الَْقتْلِ إِنَّهُ كَا َ ن مَنْصُورًا

Artinya: Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Alla>h
(membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. dan
barangsiapa dibunuh secara zalim, Maka Sesungguhnya kami
Telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah
ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya
ia adalah orang yang mendapat pertolongan. (QS. Al-Isra<’: 33).
Sebagai salah satu perbuatan yang melanggar hukum, pembunuhan
dalam hukum Islam wajib di qis}a>s}, yaitu bila perbuatan tersebut disengaja
dalam arti seseorang dalam keadaan sadar dan ada niat untuk membunuh
atau melakukan kejahatan yang dapat menimbulkan kematian. Hal ini
berdasarkan firman Alla>h Swt dalam al-Baqara>h ayat 178 sebagai berikut:
يَا َأيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عََليْكُمُ الْقِصَاصُ فِي اْلَقتَْلى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَاْلعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأنَْثى
بِالأنَْثى َفمَنْ عُفِيَ َلهُ مِنْ َأخِيهِ شَيْءٌ َفاتِّبَاعٌ بِاْلمَعْرُوفِ وََأدَاءٌ إَِليْهِ بِإِحْسَانٍ َذلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ
رَبِّ ُ كمْ وَرَحْمٌَة َفمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ َذلِكَ َفَلهُ عَذَابٌ َألِيمٌ .

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qis}a<s}
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka
dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan
wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari
saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara
yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diya>t)
kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang
demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu
rahmat. barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka
baginya siksa yang sangat pedih. (QS. Al-Baqara>h: 178)
Selain diancam dengan hukuman di dunia, Alla>h SWT juga
memberi hukuman yang teramat pedih bagi pelaku pembunuhan di akhirat kelak. Hal ini didasarkan atas firman Alla>h dalam surat an-Nisa>’ ayat 93
berikut:
وَمَنْ يَ ْ قتُ ْ ل مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَ َ غضِبَ اللَّهُ عََليْهِ وََلعَنَهُ وََأعَدَّ َلهُ عَ َ ذابًا
عَظِيمًا

Artinya: Dan barang siapa yang mambunuh seorang mu’min dengan
sengaja, maka balasannya ialah jahannam, kekal ia di dalamnya
dan Alla>h murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan
azab yag besar baginya. (QS. An-Nisa>,: 93)

Sanksi-sanksi
Kali ini, saya akan sedikit berbagi tentang keagungan Syariah Islam, terutama pada bagian sistem sanksi (nizham al-’uqubat). Tulisan ini merujuk pada sebuah buku karya Syaikh Abdurrahman al-Maliki dan Syaikh Ahmad ad-Da’ur rahimahumaLlah yang berjudul “Nizham al-’Uqubat wa Ahkam al-Bayyinat“. Buku terjemahnya berjudul “Sistem Sanksi dan Hukum Pembuktian dalam Islam”. Islam sebagai agama paripurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam sistem sanksi (uqubat).  Dalam Islam, sanksi dijatuhkan kepada orang yang berdosa tanpa membedakan apakah ia pejabat, rakyat, orang kaya atau miskin, juga apakah ia laki-laki atau perempuan. Sistem sanksi dilaksanakan oleh pemerintah sebagai pelaksana negara. Berikut ini adalah fungsi hukum Islam.
1. Sebagai Upaya Pencegahan (Zawajir)
Sistem sanksi dalam Islam dijatuhkan di dunia bagi si pendosa. Hal ini akan mengakibatkan gugurnya siksa di akhirat. Itulah alasan mengapa sanksi dalam Islam berfungsi sebagai pencegah (zawajir) karena sanksi akan mencegah orang-orang untuk melakukan tindakan dosa dan kriminal.

2. Sebagai Penebus Dosa (Jawabir)
Sistem sanksi dalam Islam pun berfungsi sebagai penebus. Dikatakan sebagai penebus karena sanksi yang dijatuhkan akan menggugurkan sanksinya di akhirat kelak. Atas dasar itu, seseorang yang telah mendapat sanksi syariat di dunia, maka gugurlah sanksinya di akhirat.

Dari penjelasan tersebut, kita bisa melihat kekhasan hukum Islam dengan hukum positif yang ada di negeri ini. Sanksi dalam Islam dijatuhkan kepada pelaku walaupun terdapat saling rida karena yang melandasinya adalah semata-mata keimanan kepada Allah swt.

Sanksi dibagi menjadi empat: (1) hudûd; (2) jinâyât; (3) ta‘zîr; dan (4) mukhâlafât. Kadang-kadang, istilah hudûd, jinâyât, ta‘zîr dan mukhâlafât juga dikonotasikan untuk tindak pelanggarannya sendiri. Dengan demikian, keempat istilah tersebut masing-masing bisa diartikan dalam konteks sanksinya maupun tindak pelanggarannya. Untuk itu, kasus perzinaan dan sanksi zina bisa disebut dengan hudûd. Begitu pula untuk istilah lainnya.

1. Hudûd
Hudûd adalah sanksi atas kemaksiatan yang macam kasus dan sanksinya telah ditetapkan oleh syariah. Dalam kasus hudûd tidak diterima adanya pengampunan atau abolisi. Sebab, hudûd adalah hak Allah Swt. Jika kasus hudûd telah disampaikan di majelis pengadilan, kasus itu tidak bisa dibatalkan karena adanya pengampunan atau kompromi.  Hudûd dibagi menjadi enam: (1) zina dan liwâth (homoseksual dan lesbian); (2) al-qadzaf (menuduh zina orang lain); (3) minum khamr; (4) pencurian; (5) murtad; (6) hirâbah atau bughât. 

Pelaku zina yang berstatus perjaka atau perawan (ghayru muhshan) dikenai hukuman cambuk sebanyak 100 kali. Pelaku zina yang berstatus suami atau istri, janda atau duda, dijatuhi sanksi rajam. Sanksi homoseksual dan lesbian adalah hukuman mati. Sanksi bagi pelaku qadzaf adalah cambuk 80 kali. Peminum khamr dijatuhi sanksi cambuk sebanyak 40 kali dan boleh dilebihkan dari jumlah itu. Tindak pencurian dikenai sanksi potong tangan jika telah memenuhi ‘syarat-syarat pencurian’ yang wajib dikenai potong tangan. Adapun jika pencurian itu belum memenuhi syarat, pencuri tidak boleh dikenai sanksi potong tangan. Misalnya, orang yang mencuri karena kelaparan, mencuri barang-barang milik umum, belum sampai nishâb (1/4 dinar), dan lain sebagainya tidak boleh dikenai hukuman potong tangan.

Pelaku murtad dikenai hukuman mati jika tidak mau bertobat dan kembali ke pangkuan Islam dalam tenggat waktu tertentu. Hanya saja, syariah tidak membatasi tenggat waktu yang diberikan kepada si murtad untuk kembali kepada Islam.Pelaku tindak hirâbah (pembegalan) diberi sanksi berdasarkan tindak kejahatan yang ia lakukan. Jika mereka hanya mengambil harta saja, hukumannya adalah dipotong tangan kanan dan kaki kiri. Jika mereka hanya menebar teror dan ketakutan saja, dikenai hukuman pengasingan (deportasi ke tempat yang jauh). Jika mereka melakukan pembunuhan saja, sanksinya hukuman mati. Jika mereka melakukan pembunuhan dan perampokan harta, hukumannya dibunuh dan disalib.

Pelaku bughât (memberontak) diperangi sampai mereka kembali ke pangkuan Islam atau ke pangkuan Khilafah yang sah. Hanya saja, perang melawan pelaku bughât berbeda dengan perang melawan orang kafir. Perang melawan pelaku bughât hanyalah perang yang bersifat edukatif, bukan jihad fi sabilillah. Oleh karena itu, pelaku bughât tidak boleh diserang dengan senjata pemusnah massal atau serbuan nuklir dan roket; kecuali jika mereka menggunakan arsenal seperti ini. Jika mereka melarikan diri dari perang, mereka tidak boleh dikejar dan ditumpas sampai habis. Harta mereka tidak boleh dijadikan sebagai ghanîmah.

2. Jinâyât
Jinâyât adalah penyerangan terhadap manusia. Jinâyât dibagi dua: (1) penyerangan terhadap jiwa (pembunuhan); (2) penyerangan terhadap organ tubuh. Kasus jinâyât terhadap jiwa (pembunuhan), sanksinya ada tiga macam: qishash, diyat, atau kafarah. Pembunuhan sendiri diklasifikasi menjadi empat jenis; (1) pembunuhan sengaja; (2) mirip disengaja; (3) tidak sengaja; (4) karena ketidaksengajaan.

Pada kasus pembunuhan sengaja, pihak wali korban boleh memilih antara qishash atau memaafkan dengan mengambil diyat, atau menyedekahkan diyatnya. Jika pelaku pembunuhan mendapatkan pemaafan, ia wajib membayar diyat sebanyak 100 ekor onta dan 40 ekor di antaranya telah bunting. Sanksi pembunuhan mirip sengaja (syibh al-’amad) adalah diyat 100 ekor unta, dan 40 ekor di antaranya bunting. Adapun pembunuhan tidak sengaja (khatha’) diklasifikasi menjadi dua macam: (1) Seseorang melakukan suatu perbuatan yang tidak ditujukan untuk membunuh seseorang, namun tanpa sengaja ternyata mengakibatkan terbunuhnya seseorang. Misalnya, ada orang memanah burung, namun terkena manusia hingga mati. (2) Seseorang yang membunuh orang yang dikiranya kafir harbi di dâr al-kufr, tetapi ternyata orang yang dibunuhnya itu telah masuk Islam. Pada jenis pembunuhan pertama, sanksinya adalah membayar diyat 100 ekor unta dan membayar kafarah dengan cara membebaskan budak. Jika tidak memiliki budak, pelaku harus berpuasa selama 2 bulan berturut-turut. Dalam kasus kedua, sanksinya adalah membayar kafarah saja, dan tidak wajib diyat. Sanksi untuk pembunuhan karena ketidaksengajaan adalah diyat 100 ekor onta dan membebaskan budak. Jika tidak ada budak, wajib berpuasa selama 2 bulan berturut-turut.

Adapun jinâyat terhadap organ tubuh, baik terhadap organ tubuh maupun tulang, sanksinya adalah diyat. Tidak ada qishash untuk penyerangan terhadap organ tubuh maupun tulang secara mutlak, kecuali pada kasus penyerangan terhadap gigi, dan kasus jarh (pelukaan di badan). Hanya saja, kasus penyerangan gigi atau jarh bisa saja dikenai diyat. Lalu kapan pada kasus penyerangan terhadap gigi dikenai qishash dan kapan dikenai diyat saja? Menurut fukaha, jika penyerangannya secara sengaja, dikenai hukuman qishash; sedangkan jika tidak sengaja, dikenai diyat yang besarnya telah ditetapkan di dalam as-Sunnah. Jika orang yang dilukai tidak meminta qishash, pelaku penyerangan hanya wajib membayar diyat. Dalam kasus penyerangan pada kepala (asy-syijaj), sanksinya hanyalah diyat, dan tidak ada qishash.

Kadar diyat atas penyerangan badan dan kepala ada yang telah ditetapkan di dalam as-Sunnah, ada pula yang belum ditetapkan. Jika telah ditetapkan dalam as-Sunnah, diyatnya sesuai dengan apa yang disebut; misalnya pada kasus jaifah dan pelukaan terhadap kelamin anak perempuan yang masih kecil. Adapun kasus penyerangan terhadap badan yang kadar diyat-nya tidak disebutkan oleh as-Sunnah, maka sanksinya adalah hukumah yang adil.

3. Ta‘zîr
Ta‘zîr adalah sanksi atas kemaksiatan yang di dalamnya tidak had dan kafarah. Pada dasarnya, sanksi ta‘zîr ditetapkan berdasarkan pendapat seorang qâdhi dengan mempertimbangkan kasus, pelaku, politik, dan sebagainya. Di dalam buku ini, Dr. Abdurrahman al-Maliki mengelompokkan kasus ta‘zîr menjadi tujuh: (1) pelanggaran terhadap kehormatan; (2) penyerangan terhadap nama baik; (3) tindak yang bisa merusak akal; (4) penyerangan terhadap harta milik orang lain; (4) ganggungan terhadap keamanan atau privacy; (5) mengancam keamanan Negara; (6) kasus-kasus yang berkenaan dengan agama; (7) kasus-kasus ta‘zîr lainnya.

4. Mukhâlafât
Dr. Abdurrahman al-Maliki memisahkan kasus mukhâlafât dari ta‘zîr. Pemisahan ini tentunya berbeda dengan sebagian besar fukaha yang memasukkan mukhâlafah dalam bab ta‘zîr. Menurut beliau, fakta mukhâlafât berbeda dengan ta’zir. Oleh karena itu, mukhâlafât berdiri sendiri dan terpisah dari ta‘zîr. Menurut beliau, mukhâlafât adalah tidak menaati ketetapan yang dikeluarkan oleh Negara, baik yang berwujud larangan maupun perintah.

Inilah gambaran umum yang bisa kita sarikan dari kitab Nizhâm al-’Uqûbât fî al-Islâm karya ‘Allamah Dr. ‘Abdurahman al-Maliki. Akhir kata, terciptanya keadilan dan rasa aman di tengah-tengah masyarakat serta terbangunnya Negara yang kuat amat ditentukan oleh ketangguhan sistem peradilannya. Ketangguhan sistem peradilan suatu negara ditentukan oleh ketangguhan sistem sanksinya. Untuk itu, memahami sistem persanksian di dalam Islam merupakan perkara urgen yang telah menjadi sebuah keniscayaan. (Diasuh Oleh Chandra Purna Irawan, BKLDK Jabar, S2 Hukum UIN Bandung)

Sanksi 2
Ayat-ayat mennjelaskan
الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ وَقَتْلُ النَّفْسِ وَشَهَادَةُ الزُّورِ تَابَعَهُ غُنْدَرٌ وَأَبُو عَامِرٍ وَبَهْزٌ وَعَبْدُ الصَّمَدِ عَنْ شُعْبَةَ
“Menyekutukan Allah, durhaka kepada dua orang tua, membunuh jiwa, serta kesaksian palsu..”[HR. Imam Bukhari]
لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ النَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالثَّيِّبُ الزَّانِي وَالْمَارِقُ مِنْ الدِّينِ التَّارِكُ لِلْجَمَاعَةِ
“Telah bersabda Rasulullah saw, “Tidaklah halal darah seorang muslim yang telah bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah dan Aku [Mohammad] adalah utusan Allah, kecuali karena salah satu dari tiga hal ini, “Lelaki yang telah beristeri yang berzina, jiwa dengan jiwa (qishash atas pembunuhan), murtad dari agamanya sehingga memisahkan diri dari jama’ah.” [HR. Imam Bukhari dan Muslim].
Sanksinya adalah :.
Adapun sanksi bagi orang yang melakukan pembunuhan adalah qishash, atau membayar diyat. Sanksi qishash dijatuhkan pada kasus pembunuhan sengaja, dan pelaku pembunuhan tidak mendapatkan pemaafan dari pihak keluarga yang dibunuh. Jika pelaku pembunuhan mendapatkan pemaafan dari keluarga korban, maka pelaku pembunuhan tersebut harus menyerahkan diyat syar’iy kepada keluarga korban. Sedangkan untuk kasus-kasus pembunuhan selain pembunuhan sengaja, maka pelaku hanya diwajibkan membayar diyat.
Sanksi 3
Mengenai taubat orang yang membunuh, Ibnu Abbas berpendapat bahwa taubatnya seorang pembunuh yang membunuh seorang muslim lainnya tidak diterima, tapi berbeda lagi dengan pendapat para ulama’ ahli tafsier lainnya yang mengatakan taubatnya dapat diterima asal dengan taubat nashuha (sunguh-sungguh) yang disertai amal shaleh. Bagi seorang ayah yang membunuh anaknya hanya karena takut pada kemiskinan seperti yang dilakukan orang masyarakat pada zaman jahiliah, sesungguhnya adzab Allah sangatlah pedih.
Sedang seorang pembunuh mu’min karena khilaf padanya dibebani dua kewajiban yaitu diyat (ganti rugi) dan kifarah dengan memerdekakan budak seorang mu’min, sebab dia sudah membunuh jiwa mu’min lainnya. Kalau dia tidak menemukan atau mempunyai atau tidak meampu membeli dan memerdekakan budak maka harus diganti dengan puasa dua bulan berturut-turut tidak boleh terputus kecuali oleh halangan syar’i (haid, sakit dll).



Tidak ada komentar: